Jombang, Garda21—Pada sekitar tahun 1864-1931 di Mojowarno mengalami perkembangan begitu pesat baik dalam segi pembangunan, pendidikan, kebudayaan, ekonomi dan lainnya. Selain itu komunitas di Mojowarno multikultural karena terdiri dari berbagai etnis, agama dan budaya baik itu dari etnis Jawa, madura, cina serta lainnya. Hal inilah yang mendasari Fendy Suhartanto, S.Pd. menulis buku yang berjudul ‘Mojowarno dan Komunitas Multikultural tahun 1864-1931” demikian disampaikan oleh Fendy pada waktu acara Jagongan syafaat bedah buku sejarah di Pendopo balai desa Japanan, Mojowarno pada Sabtu (2/3/2024)
Acara ini digagas oleh Forum J-Fest (Japanan Festival) yang dihadiri lebih dari 50 orang yang terdiri dari penggiat sejarah, mahasiswa dan Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam AT-TAHDZIB, awak media, penerbit buku dan masyarakat umum. Dalam diskusi ini di moderatori oleh Muhammad Rofiq. Pembukaan diskusi ini diawali dengan tari Remo yang dibawakan oleh karang taruna desa Japanan.
“Pada penyusunan buku ini, saya mendapatkan sumber yang otentik baik dari tulisan-tulisan orang Belanda maupun Indonesisa, peninggalan sejarah seperti, Gedung maupun lainnya. Untuk mendapatkan bukti tersebut saya juga mengajak para murid untuk menelusuri jejak sejarah yang ada di Mojowarno.” Sambung Fendy yang sebelumnya adalah guru sejarah di SMA Negeri Mojoagung sebelum pindah mengajar di SMA Negeri 1 Puri, Mojokerto.
Selain Fendy Suhartono, dalam acara ini juga mendatangkan pembicara Wiryo Widianto M.M yang merupakan pengiat sejarah dan penulis buku. Dalam pemaparannya menjelaskan bahwa pada tahun 1864-1931 Mojowarno merupakan daerah yang sudah maju dan toleransinya sudah cukup tinggi, hal ini juga dipengaruhi oleh para Misionaris dari Belanda dimana para Misionaris mendirikan beberapa sekolah untuk para pribumi, rumah sakit dan Pendidikan bagi para pendeta.
Sementara itu menurut penulis sejarah Dian Sukarno “Toleransi ini sudah ada sejak dulu kala mulai dari kerajaan Majapahit bahkan sebelumnya, jadi bukan barang baru bagi masyarakat kita’. Hal senada juga disampaikan oleh Iman Wimbadi yang juga merupakan pemerhati sejarah.
Diskusi bedah buku ini terasa sangat menarik terbukti dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh para audien dan pemaparan dari para pembawa materi, selain itu tingginya minat para mahasiswa dan para pemuda yang mengikutinya sampai selesai . Diakhir acara ini Fendy selaku penulis sejarah mengajak para pemuda untuk mencintai sejarah dan menulis sejarah minimal sejarah daerahnya.
Penulis : Lukius Juliandri